Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Pondok Keluarga’ Category

Nama lengkapnya Faiha Widad Fillah, aku mengartikannya sebagai taman kasih sayang di jalan Allah. Dia anaku yang pertama lahir dari rahim umminya. 20 Februari umurnya genap 5 tahun, sejak umurnya kurang dari tiga tahun dia sudah mulai masuk Taman Kanak-kanak Islam, jadi jika tahun ini tidak lanjut ke SD maka praktis di Kelas B selama 3 Tahun, Hafalan Qur’annya sampai Surat At Takasur, 15 Hadits dan iqro 4. Sejak dalam kandungan aku sering menyenandungkan nasyid Ar Ruhul Jadid di Perut buncit ummminya dengan harapan kelak dia menjadi ruh baru dan semangat baru bagi peradaban umat. Untuk kearah sana aku mulai menkondisikannya sejak lahir dari mulai busana muslimah selalu menggunakan jilbab lebar dan gamis, pergaulannya dikondisikan dan dari sejak kelahirannya sampai sekarang selalu di ajak itikaf di mesjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan pas Ramadhan terakhir malah dia yang ngajak terus untuk Itikaf dan sudah mulai belajar shaum Ramadhan bahkan beberapa hari full seharian, mesjid Agung at Tin sebagai tempat itikaf favoritnya. Padahal aku untuk dapat merasakan nikmatnya itikaf itu harus menunggu dua puluhan tahun, tepatnya setelah mendapat hidayah di kampus tempatku kuliah.

Istriku mejadi madrasah baginya dan paling banyak berperan dalam membentuk dirinya. Tak jarang dia diajak ke pengajian rutin pekanan. Sehingga untuk urusan liqo dan pengajian baginya sudah tidak asing. Apalagi memang dirumah dijadikan sebagai basecamp pengajaran bagi lingkungan sekitar, kegiatan belajar mengajar tiap harinya selalu ada, pagi digunakan sebagai TK Islam, siang dan sore hari TPA dan selepas maghrib waktunya binaan istri dan binaan neneknya Faiha yang remaja tanggung bahkan bada subuhpun masih ada anak-anak remaja yang mengaji sama neneknya Faiha. Hari libur pun tidak mau ketinggalan, ibu-ibu tetangga yang dibina oleh neneknya Faiha, bahkan kadang-kadang temen-temen neneknya Faiha pada Liqo dirumah. Neneknya Faiha ini memang ustadzah yang jeli melihat peluang dalam hal bina membina, seperti yang terjadi pada anak-anak muda bau kencur yang coba-coba minum anggur di Pos tempatnya pada nongkrong dan main kartu. Main kartunya ga tanggung-tangung sudah mengarah kepada judi kecil-kecilan kerena memang mereka anak kecil, kalau mereka anak gede tentunya judinya juga gedean tapi emang yang anak gede sih biasanya giliran malam hari nongkrongnya. Dari sejak kecil mereka sudah belajar maksiat tentunya tidak akan terjadi begitu saja kecuali ada yang mengkondisikan.

Dan biangnya adalah seorang tetangga yang tanahnya dibangun pos tempat nongkrong, dia memang dijadikan panutan bagi para pemuda dan dicap preman oleh tetanggaku yang lain. Rumahnya persis disamping rumah baruku yang pembangunanannya mau ga mau suka ga suka mesti melibatkan tetanggaku yang preman tersebut, karena kata yang laen kalau dia tidak dilibatkan pasti akan dikerjain, kalau ngerjain pembangunan tanpa pamrih sih mending tapi kalau hitungannya dalam rangka dijahilin yang risih kita juga, minimalnya dia akan mengerahkan anak-anak binaannya untuk merongrong para pekerja bangunan yang bagiku mereka bukan siapa-siapa, selain memang mereka sudah ahli dibidangnya mereka juga adalah kerabat jadi awalnya aku pikir kenapa harus melibatkan tetangga yang preman itu, sampai akhirnya rumah baruku tiap malam selalu ada batu melayang yang jatuh diatap genteng. Ini pekerjaan siapa lagi kalau bukan yang iseng sedang mengusik untuk mencari perkara. Awalnya memang mengganggu izzahku dan aku sebetulnya siap buka front dengan mereka, yang dalam benakku ga perlu mendatangkan sekompi kepanduan atau mendatangkan temen-temenku yang petarung, petinju dan pendekar untuk membuka front dengan mereka tapi gelegak jihad yang membara. Bahkan untuk anak-anak tongkrongan aku lebih memilih cara refresif, soalnya mereka pas ada yang mengingatkan malah meledek makanya sebaiknya dilaporin ke orang tuanya atau ke pihak yang berwajib sekalian. Tapi lain halnya dengan neneknya Faiha yang ustadzah, dia malah coba menahanku “Jangan Coba Jadi Jagoan” katanya, tanpa sepengetahuanku dia mengundang tetanggaku yang preman itu untuk ikut bekerja dalam membangun rumah baruku, dan mendatangi anak-anak di pos yang lagi pada megang kartu dan langsung mengajari mereka ngaji saat itu juga dan disitu juga, “Kalian boleh main kartu tapi harus diselingi dengan belajar ngaji” katanya, anak-anak itu tidak berkutik dan mau ga mau mereka nurut juga.

Setelah beberapa kali kesempatan akhirnya tempat pengajiannya dipindah kerumah bukan lagi di pos, awalnya neneknya Faiha menawarkan kepadaku untuk membinanya, aku sih rada mikir-mikir untuk menjadikan mereka binaan, bukan karena anak-anak itu telah menjengkelkanku tapi kata temen-temen bahasaku berat jadi agak susah menkonversinya untuk konsumsi anak-anak yang kebanyakan anak-anak esde, yang kecil kelas dua esde dan satu orang paling gede kelas satu esema. Makanya dalam hal membina, sebetulnya kalau boleh memilih aku akan memilih untuk membina mahasiswa atau minimal esema soalnya bagi mereka banyak isu yang bisa dibahas atau bahkan sekalian orang tua saja, seperti saat itu aku dipaksa untuk mengisi waktu luang tabligh akbar di pernikahan temenku sambil menunggu ustadz yang jadi pembicara tiba ataupun saat beberapa temen-temenku meminta aku menjadi pembicara mewakili pihak keluarganya, itu bukan karena aku spesialis munakahat tapi ya itu pengalihan isu dan retorikanya lebih mudah dibandingkan harus mengisi anak-anak yang pas ngaji saja ada yang tiduran ada yang lari-larian, ngobrol ngalor-ngidul bisa hilang kesabaran makanya aku bilang sama neneknya Faiha sebaiknya yang memegang mereka guru TPA saja yang kesabarannya sudah teruji.
Upaya neneknya Faiha tidak berhenti agar aku yang membina, seperti pada kesempatan berikutnya. Saat anak-anak sudah pada datang dan anaku si kecil Faiha yang membukakan pintunya, dia memanggil neneknya “ Nenek Ada Yang Mau Ngaji”, katanya. Neneknya Faiha malah mendatangiku yang sedang leyeh-leyeh di depan TV sambil bercengkerama dengan istriku dan memintaku sekali lagi untuk mengisi anak-anak. Karena sekali lagi aku menolaknya secara halus maka tak urung istriku ikut membujukku bahkan si kecil Faiha juga tak ketinggalan ikut membujukku, “Coba Abi deh yang ngajar” katanya. Karena aku bersikukuh untuk tidak, apalagi saat itu sebentar lagi PERSIB Bandung mau berlaga yang aku ga mau ketinggalan yang akhirnya istriku mengajukan pembelaan bagiku, “ini lagi ada yang ditunggu dari tadi”..tapi apa yang dibilang si Kecil Faiha “ Yah Abi Cemen” katanya, aku sih Cuma mencubit pipinya yang tembem.

Pada saatnya aku tidak bisa mengelak, Waktu itu neneknya Faiha lagi tidak di rumah karena ada kerabat yang sakit. Padahal neneknya Faiha sudah memberi kabar ke sebagian dari mereka agar ngaji pada kesempatan tersebut ditiadakan. Tapi berhubung sebagian lainnya dari kalangan proletar jadi masih ada yang tetep datang kerumah karena tidak dapat informasi pembatalan. Mereka teriak-teriak salam didepan rumah, Faiha yang membukakan pintunya kemudian dia member tahu kami yang sedang bercengkrama di kamar selepas maghrib yang sebelumnya aku sendiri baru pulang kerja, makanya untuk mengendurkan otot yang tegang setelah seharian kerja dan mengurusi Negara di tempatku kerja, enaknya setelah mandi, sholat , tilawah sebentar, baru deh manja-manjaan sama istri.

Tapi akhirnya kami dikagetkan dengan teriakan Faiha, “Ummi ada yang mau ngaji”. Katanya umminya, “Iya biarin mau ngaji sama nenek “. Tapi Faiha tidak berhenti disitu, sambil mendekati kami “ Mi kan nenek ga ada…”, “ Nah Sekarang Giliran Abi..” Terus dia ikut berbaring didekatku dan berbisik, “ Bi, kalau Abi mau pinter makanya ngajar….ntar Kakak kasih duit deh, mau seribu apa dua ribu….”, Kena deh..persis kalau aku membujuknya agar mau melakukan sesuatu hal yang besar aku suka memberinya reward, bukan itunya sih yang membuatku terharu bujukannya itu yang membuatku akhirnya mau juga menggantikan ngajar neneknya Faiha..”Tua bener sih Kak…siapa sih yang ngajarin”.. sambil mencium pipinya,
Akhirnya aku ke ruangan depan dan setelah mengkondisikan anak-anak yang jumlahnya hanya lima orang karena memang yang lain sudah tau tidak ngaji, aku kembali lagi ke kamar dan si kakak bilang “ Semangat, semangat…”. Subhanallah. .kakak, terus lah memberi Abi semangat sayang, Saat Abi tidak lagi dapat mengangkat tangan sambil terkepal dan berteriak Ar Ruhul Jaddid untuk memberi semangat ataupun tausiyah untuk menggelorakan jihad yang lain. Bahkan buat Abi sendiri, karena memang inilah bagian dari diriku yang disukai oleh istriku..untuk membuat aku sendiri bersemangat tak jarang aku seperti layaknya berorasi dengan ghirah yang membara dan kata-kata yang penuh hamasah, kalau sudah begini istriku paling tepuk tangan kalau sudah selesai. “Makanya kalau aku sudah tidak seperti itu, engkaulah anakku yang akan menjadi penyemangat karena Jihad adalah semangat dan perjuangan keluarga kita sayang..”. Pengajiannya sendiri setelah jalan tinggal tiga orang, yang satu orang setelah tahu aku yang ngajar dia langsung kabur, takut kali. Dan yang satu lagi masih mendingan sempet baca iqro dulu sebelum kabur, dan akhirnya yang bertiga setelah baca iqro dan ada yang sudah baca Al Quran kemudian aku cerita hikmah dan sedikit mengenai urgensi shalat.

Sekarang bagaimana dengan anda, maukah anak kita bilang ….yah Abi Cemen, bukankah kita ingin menjadi anutan bagi anak kita, maka “La Abudan Anta Murabiyyan, Tidak Ada Kata Lain Kita Harus Membina”,

Sungguh benar Utadz Musthafa Mashur bahwa ”Tarbiyah bukan segala-galanya tapi segala-galanya dimulai dari Tarbiyah”. Membina bukan hanya membanggakan kita, anak-anak kita atau siapapun, lebih dari itu Allahpun membanggakan kita di hadapan para malaikat :
” ….ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam lingkara. Beliau bertanya ” Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?”, mereka menjawab, ” Kami duduk berdzikir dan memuji Allah atas hidayah yang Allah berikan sehingga kami memeluk islam.” Maka rasulullah bertanya, ” Demi Allah, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?” Mereka menjawab, ” Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu”. Maka beliau bersabda, ” Sesungguhnya saya bertanya bukan ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan para malaikat.” (potongan HR Muslim, dari Abu Said, dari Muawiyah). wallahu ‘alam.

notes fb

Read Full Post »

Si V: Wah, lagi S3? Berarti calonnya nanti minimal juga kudu doktor, dong?

Paman W: Jangan sekolah melulu, ntar gak nikah-nikah, lho!

Mbak X: Aku gak jadi nerusin doktor, ah… wong lulus master gini aja belum juga dapet jodoh!

Mahasiswi Y: Jadi wanita nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, ‘kan nantinya ke dapur juga!

Mbak Z: Si A mundur, Mbak… soalnya dia masih kuliah S2, padahal Mbak udah Master!

Beberapa komen di atas sering muncul di sekitarku, terutama yang senada dengan V, W, dan X. Komen yang mengarah pada satu kesimpulan: pendidikan yang tinggi bagi wanita akan meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baginya! Percaya atau tidak, hal tersebut belakangan ini membuat teman-teman wanitaku enggan untuk melanjutkan studinya, padahal mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Salah satunya… ya, tentu saja si Mbak X ini. Padahal kesempatan terbuka lebar baginya, dan saat itu ia juga belum mendapatkan kejelasan, dengan siapa akan menikah.

Kalau sang calon pendamping sudah jelas, pasti beda lagi situasinya. Tinggal didiskusikan dengan yang bersangkutan, bereslah sudah! Namun yang kebanyakan mengorbankan studi demi menanti sang calon suami ini, justru mereka yang masih benar-benar sendiri, dalam arti tidak sedang berproses/dekat dengan pria manapun.

Menanti sang pendamping, memang salah satu dari ketidakpastian. Ada berbagai kemungkinan yang membuat sang qawwam ini belum hadir juga. Yang pertama, tentunya kriteria dari si muslimah itu sendiri. Kalau dia menentukan kriteria yang terlalu ‘biasa’, bisa jadi, justru inilah yang mempersulit kehadiran sang pendamping hidup. Lho, kok bisa? Ya, iya, lah… wong maksudnya sang suami itu harus ‘biasa’ berakhlaq Al-Qur’an bak Nabi Muhammad SAW, berwajah ‘biasa’ ala Nabi Yusuf AS, ‘biasa’ kaya dan berkuasa bagai Nabi Sulaiman AS, dan ‘biasa’ sabar seperti Nabi Ayyub AS! Wah, kalau yang kayak gini sih, mau bumi ditegakkan dan diruntuhkan berapa kali juga nggak bakalan ketemu, deh!

Jadi, sebelum menentukan kriteria, ada baiknya kita juga berkaca pada diri sendiri. Bukankah Allah telah menyampaikan dalam Q.S. An-Nuur: 26, bahwa: “… perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula).” Kesimpulannya? Ya, kalau kita tidak sebijaksana dan sesholehah Khadijah RA, atau pun secerdas dan seberani Aisyah RA, jangan pasang kriteria setinggi Rasulullah dan kawan-kawan, dong! Cari kriteria yang membumi, karena kita memang tinggal di bumi, bukan di awang-awang.

Yang kedua, berusaha/ikhtiar. Menurut Ustadz Arif Rahman (Kepsek Lab School) dalam ceramah Ramadhan di kantor dulu, ada 3 bentuk ikhtiar yang bisa dilakukan oleh muslimah untuk ‘menjemput’ sang qawwam ini:

A) Meluruskan niat dan membuka diri. Maksudnya bergaul, secara syar’i tentunya. Kalo ngumpet terus di rumah, gimana mau ketemu orang, dong? Jangan-Jangan malah selama ini orang di sekitar nggak ngeh kalo kita ada, karena hibernasi melulu. Terus soal niat, mesti diseriuskan bahwa niatnya memang untuk nikah, menggenapkan setengah agama. Bukan cuman untuk hura-hura atau pacaran yang nggak ketahuan juntrungannya. Bukankah segala sesuatu itu berawal dari niat? Jika niat baik, jalannya baik, dan tujuannya baik; Insya Allah akan dipermudah dan dilancarkan.

B) Meminta rekomendasi teman/kerabat/keluarga. Sama dengan rejeki, yang namanya jodoh itu juga datangnya dari arah yang tak disangka-sangka. Kalau nggak percaya, tanya saja ke temen-temen sekitar yang sudah nikah, pasti banyak cerita-cerita ajaib soal pertemuannya dengan pendamping hidupnya saat ini. Di sisi lain, kita juga mesti hati-hati dan memilih teman yang dapat dipercaya, jangan asal OK aja. Ingat, nikah itu bukan cuman untuk sebentar dua bentar, tapi Insya Allah hingga bertemu di surga nanti.

Jadi pastikan bahwa semua informasi yang didapatkan adalah yang paling up-to-date, akurat, tajam, dan tepercaya! Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang berawalan dengan: “Kudengar dari temen, temenku punya kawan, kawannya ini sohiban sama si B, nah… temen sebangkunya tetangga si B ini katanya lagi nyari isteri.” Waduh, jauh banget, ya …’kan susah untuk cek en riceknya infonya nanti. Sebenernya paling enak memang kalau dijodohin sama orang tua, asalkan kriteria mendasar kita sama dengan mereka. Soalnya tiap orang tua pasti akan memilihkan yang terbaik buat anaknya. Nah, tinggal pinter-pinter negosiasi aja sama orang tua, biar tidak ada tabrakan kepentingan di sini, karena seringkali patokan kriteria sang ortu berbeda dengan sang anak.

C) Last but not least, berdoa. Niat udah, usaha udah, tinggal tawakkal, pasrahkan dan mintakan yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang mengetahui kepastian tentang jodoh kita. Selalu berbaik sangkalah kepada-Nya, karena hanya Allah yang mengetahui mana yang terbaik bagi kita.

Nah, kembali ke soal pendidikan tinggi dan hubungannya dengan berkurangnya prospek untuk menikah. Terus terang, setidaknya ada empat alasan bagiku untuk menolak pendapat ini.

1. “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” Catat: setiap muslim, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan. Memang, menuntut ilmu tidak wajib lewat pendidikan formal, tapi kalau kesempatan dan kemampuan memungkinkan, kenapa tidak? Percaya deh, yang namanya sekolah itu nggak bakalan ada ruginya. Kecuali kalau niat sekolah bukan untuk menuntut ilmu, tapi cuman pengen gaul dan kongkow-kongkow bareng temen di luar kelas, memperluas jaringan. Kalau ini mah, jelas rugi banget, udah buang waktu, tenaga, dan biaya, tapi yang kita dapet sama sekali nggak setara dengan itu.

Selain itu, patut diingat bahwa kelak bila sudah menikah dan melahirkan, seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Itulah sebabnya, pendidikan bagi seorang ibu dan calon ibu sangat penting. Kebayang nggak sih, kalau ibunya lulusan SD, terus waktu si anak duduk di SMP nggak bisa ngerjain/nggak ngerti PR-nya, mau bertanya ke siapa? Ibunya nggak paham, ayahnya belum tentu sempat ngajarin. Kasihan si anak, ‘kan? Apalagi di era globalisasi seperti ini, di mana sang ibu juga dituntut untuk berpacu dengan waktu, agar dapat memberikan bekal pendidikan yang mantap bagi sang anak, sehingga sang anak bisa mandiri, sholeh/ah, dan tidak gampang terpengaruh dengan lingkungannya.

2. Jodoh merupakan salah satu dari tiga sekawan (bersama rejeki dan maut, maksudnya) yang hanya diketahui kepastiannya oleh Allah SWT. Tiga sekawan itu telah dituliskan sejak awal nyawa kita ditiupkan. Kalau kita menganggap bahwa orang yang berpendidikan tinggi itu sulit mendapatkan jodoh, wah… berarti sama saja kita menganggap bahwa Allah pilih kasih, tidak adil pada wanita yang berpendidikan tinggi, soalnya hak prerogatif nentuin jodoh itu ‘kan di tangan Beliau? Pastinya, Allah nggak gitu, deh! Mungkin ‘kesulitan’ bertemu jodoh ini justru karena kriteria yang terlalu tinggi tadi, sehingga walaupun yang bersangkutan sudah di depan mata, tapi si wanita masih tetap berharap yang lebih dan lebih, tanpa memperhitungkan kualitas dirinya sendiri, sehingga menolak sang jodoh yang telah ditetapkan.

3. Tingkat pendidikan formal yang tinggi bukan berarti tahu segalanya. Mungkin semua ingat, kita dulu belajar “sapu jagad” justru saat di SD: dari belajar baca tulis angka, huruf Latin, Jawa, dan Arab sampai not balok; dari sejarah Kutai sampai teori relativitas; dari melipat kertas sampai menjahit; dari berkebun sampai olahraga. Lama-kelamaan, pendidikan beralih dari generalis menuju ke spesialis, yang dimulai sejak penjurusan di SMA, terus berlanjut hingga akhirnya di S3 kita hanya menambah pengetahuan untuk jenis bidang ilmu yang digeluti saja.

Jadi kalau ada yang bilang bahwa muslimah lulusan S3 mesti nikah dengan pria yang minimal S3, rasanya nggak juga. Semuanya tergantung pada pribadi masing-masing. Karena kemampuan akademik tidak mencerminkan kepribadian seseorang sepenuhnya. Idealnya memang sekufu. Tapi sekufu bukan berarti setara dalam gelar akademik, ‘kan? Jika calon qawwam yang diajukan memiliki kepribadian yang sholeh, akhlaq yang baik, dan pola pikir serta komunikasi yang nyambung (walaupun gelar akademik yang dimilikinya lebih rendah dari si wanita), kenapa tidak diterima? Selama bisa saling menghormati, Insya Allah perbedaan status pendidikan ini tidak akan menjadi masalah dalam bahtera rumah tangga nanti.

4. Memanfaatkan waktu sambil menanti kepastian di tengah ketidakpastian. Menuntut ilmu adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas diri dalam masa penantian yang tidak pasti ini. Jangan sampai kita duduk manis menunggu si godot, eh si jodoh ini, deh! Pasti semua sudah mendengar hadist ini:”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Iya kalau nunggunya bentar, kalau lama? Rugi banget, kan… buang-buang waktu dan kesempatan hanya karena mengandalkan sesuatu yang belum pasti kapan tibanya.

Jika sang qawwam belum juga hadir, pastinya ada alasan Allah untuk itu. Mungkin saja kita diberikan kesempatan untuk berkarya semaksimal mungkin sebelum menikah, karena pernikahan bagi beberapa orang dapat mengurangi kebebasan untuk beraktivitas, apalagi jika anak-anak telah hadir menemani.

Pernah seorang wanita bilang kepadaku, ”Enak ya, kalau belum nikah, bisa sekolah ke mana-mana, bisa kerja di tempat yang kita suka. Kalau udah nikah, mah… semua kudu pake izin suami, apalagi setelah ada anak… nggak bisa ditinggal sama sekali, ribet banget, dah!”

Hehehe… pastinya, nggak semua begitu, lho! Banyak kok, temen-temen yang sudah nikah dan punya anak, tapi tetap bisa beraktivitas seimbang di keluarga dan masyarakat. Jadi komen si Y di atas juga nggak masuk hitungan, deh… karena sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Hal yang perlu diingat adalah, komunikasikan keinginan untuk tetap beraktivitas di luar rumah ini pada sang calon pendamping, agar tidak menyesal di kemudian hari.

Tapi jika masih ada pria yang mundur hanya karena status pendidikan yang lebih rendah dari si wanita, gimana dong? Yaaa, itu sih problem dia, bukan kita, hehehe. Rasulullah SAW pun memiliki isteri yang sangat terkenal kecerdasannya: Aisyah binti Abubakar RA. Namun beliau tidak pernah mempermasalahkan hal ini, walaupun telah mengetahuinya sejak sebelum pernikahan mereka. Beliau menikahi Aisyah atas perintah Allah justru karena kecerdasannya, yang di kemudian hari sangat membantu dalam pengumpulan hadist-hadist yang berhubungan dengan kehidupan Rasulullah sehari-hari.

Orang yang terbaik bagi kita adalah yang dapat menerima kita apa adanya, sebagaimana penerimaan kita terhadapnya. Dengan kata lain, qawwam yang tepat bagi seorang wanita adalah yang mampu menerima calon isterinya dalam kondisi walau (walau nggak cantik, walau nggak feminin, walau pendidikannya lebih tinggi, walau beda suku, walau dari keluarga yang biasa saja), bukan dengan syarat kalau (kalau cantik, kalau feminin dan lemah-lembut, kalau pendidikannya setara/di bawahnya, kalau dari suku yang sama, kalau anak orang kaya, dst.). Wah, kalau syaratnya mengubah sejarah pendidikan, keturunan, kekayaan, dan kepribadian begini mah, mendingan milih orang lain aja, deh!

Kesimpulannya, tetaplah untuk terus maju. Selama apa yang kita kerjakan itu baik, benar, dan halal, kenapa mesti ragu? Karena waktu terlalu berharga, untuk disia-siakan dalam penantian yang belum jelas ujungnya. Begitu berharganya waktu, sampai Allah pun mengatakan dalam Q.S. Al-Insyirah: 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)….” Bila sang sandaran hati tak juga berjumpa di dunia ini, Insya Allah pasangan abadi akan dipertemukan di akhirat nanti.

***

Finally… just be yourself, do your best, think positive, and keep praying for His guidance, because only Allah who knows the best for us …:).

***

*Semoga Allah senantiasa menempatkan kita dalam naungan hidayah dan ridha-Nya…*

Read Full Post »

Keluarga tak ubahnya seperti negara. Ada pimpinan, menteri, rakyat, kebijakan, dan aturan. Layaknya negara, dinamika politik keluarga pun mesti dinamis. Karena dengan begitulah, keluarga menjadi hidup, hangat, dan produktif.

Indahnya hidup berkeluarga. Di situlah orang belajar banyak tentang berbagai hal. Mulai masalah pendidikan, hubungan sosial antar anggota keluarga, ekonomi, pertahanan, komunikasi, organisasi, dan politik. Mungkin, itulah sebabnya, orang yang sukses dalam berkeluarga, insya Allah, akan sukses berkiprah di masyarakat. Bahkan, negara dan dunia.

Ada empat aspek yang selalu muncul dalam dinamika keluarga. Pertama, tiap anggota keluarga memiliki perasaan dan idea tentang diri sendiri yang biasa dikenal dengan harga diri atau self-esteem. Kedua, tiap keluarga memiliki cara tertentu untuk menyampaikan pendapat dan pikiran mereka yang dikenal dengan komunikasi. Ketiga, tiap keluarga memiliki aturan permainan yang mengatur bagaimana mereka seharusnya merasa dan bertindak yang selanjutnya berkembang sebagai sebuah sistem nilai keluarga. Yang terakhir, tiap keluarga memiliki cara dalam berhubungan dengan orang luar dan institusi di luar keluarga yang dikenal sebagai jalur ke masyarakat.

Cuma masalahnya, tidak semua pimpinan keluarga peka dengan dinamika yang ada. Kadang juga terlalu tegang menyikapi kesenjangan antara idealita dengan realita. Ketidakpekaan dan ketegangan inilah yang kerap membuat dinamika keluarga menjadi redup. Para anggota menjadi ikut kikuk, bungkam, dan takut.

Setidaknya, itulah yang kini dirasakan Pak Deden. Bapak lima anak ini mestinya bahagia dengan anugerah Allah berupa isteri shalihah dan anak-anak yang sehat dan cerdas. Tapi, entah kenapa ia agak bingung menatap perkembangan bawahannya.

Itu terjadi ketika beberapa masalah tidak sampai ke telinganya. Ia justru baru tahu setelah beberapa tetangga cerita. Masalah rapot sekolah anak-anaknya, misalnya. Pak Deden baru tahu ada pengambilan rapot ketika seorang tetangga menyapa. “Gimana rapot anak-anak, Pak Deden?” suara seorang bapak ketika Pak Deden mau berangkat ke kantor. Apa, rapot? Pak Deden terhenyak.

Lebih parah lagi, ketika Pak Deden mendapati kenyataan kalau anak-anaknya belum bisa terima rapot. Alasannya begitu sederhana. Ada beberapa pembayaran sekolah yang belum lunas. Lha, kenapa ia tidak tahu. Kenapa tak seorang pun yang menyampaikan masalah penting itu. Termasuk, isteri tercintanya.

Ada pemandangan lain yang tidak asing buat tetangga Pak Deden. Di sekitar rumah Pak Deden, banyak anak-anak bermain. Ada yang bersepeda, main bola, berkejar-kejaran, main petak umpet, dan lompat tali. Suara hiruk pikuk teriakan anak-anak begitu menderu meramaikan perkampungan rumah Pak Deden. Tapi, cuma ada satu pengecualian. Para tetangga nyaris tak pernah menemukan anak-anak Pak Deden membaur dalam permainan itu. Alasannya? Mereka mendengar kalau Pak Deden begitu ketat soal aturan bermain anak-anak: kalau nggak ada hubungan dengan pelajaran sekolah, bermain bisa di rumah. Titik.

Di satu sisi, para tetangga boleh heran dengan aturan Pak Deden tadi. Tapi, mereka juga dibuat kagum dengan kenyataan yang ada. Anak-anak Pak Deden kalem-kalem. Jarang bicara, tenang, tidak pernah blingsatan. Mereka pendiam. Ritme hidupnya begitu teratur. Pagi berangkat sekolah, pulang sekolah tidur siang, mandi sore, belajar, makan sore, shalat Maghrib, ngaji, shalat Isya, belajar, dan kemudian tidur. Kecuali hari Ahad mereka tampak bisa bermain keluar rumah. Itu pun tak lebih dari satu jam. Selebihnya, bermain di rumah atau nonton tivi.

Kalau ada yang bertamu ke rumah Pak Deden, pasti akan mengira kalau rumah yang sedang dikunjungi tidak punya anak, atau anak-anaknya sedang pergi. Karena suasana rumah itu begitu tenang, nyaris tanpa teriak dan celoteh anak-anak. Padahal, anak-anak Pak Deden ada di ruang lain. Karena begitulah aturannya: kalau ada tamu, tak boleh diganggu.

Lalu, apa semua itu yang jadi sebab komunikasi macet. Apa aturan-aturan ketat itu yang menjadikan keluarga Pak Deden terasa ‘aneh’ di mata tetangga-tetangganya. Gelap. Pak Deden bingung sendiri.

Sebelumnya, ia yakin betul kalau aturan dan dinamika keluarganya begitu istimewa. Tenang. Teratur. Bahkan, ia sempat terheran-heran dengan pemandangan unik keluarga teman kerjanya. Bayangkan, buat menentukan menu sarapan saja, suara riuh anak-anak rekannya itu terdengar nyaring bersahut-sahutan, “Saya nasi goreng! Mie goreng! Nasi uduk! Ketupat sayur!” Sungguh, sebuah pemandangan yang nyaris tak pernah terjadi di keluarga Pak Deden.

Ada satu lagi yang sulit terlupakan buat Pak Deden. Anak-anak rekan kerjanya itu begitu bebas memilih kendaraan pergi ke sekolah. Padahal, mereka masih sekolah dasar. Ada yang naik bus, bersepeda, jalan kaki. Apa nggak bahaya. Apa nggak sebaiknya diantar. Apa nggak…? Sederet kekhawatiran Pak Deden tiba-tiba menyeruak.

Pemandangan itu mengingatkan Pak Deden dengan anak-anak di rumah. Dari lima anak, cuma si sulung yang bisa naik sepeda. Selebihnya, belum berani. Pak Deden takut kalau terjadi apa-apa dengan anak-anaknya. Ia pernah dengar, anak tetangganya terjatuh hingga patah tulang tangan ketika belajar sepeda.

Sang teman begitu enteng bicara ketika Pak Deden menanyakan ‘kebebasan’ anak-anak rekannya itu, “Hidup ini perjuangan, Den. Hadapi, jangan lari!”

Ah, perlu banyak hal buat Pak Deden untuk menemukan pilihan-pilihan lain dari sebuah aturan. Bagaimana pun, diam itu tak sehat. Banyak penyakit yang mengendap. Perlu ada terobosan agar gairah keluarganya bisa lebih hidup. Dinamis. Agar tidak ada lagi kesunyian-kesunyian yang dipaksakan.

sumber : eramuslim/hikmah

Read Full Post »